Survei 2025 , 98 Persen Warga Madiun Tolak Isu Ijazah Palsu Jokowi
Survei dengan metode geodemografi menegaskan bahwa mayoritas publik menegaskan tidak percaya ijazah Jokowi palsu
![]() |
| Diagram hasil survei yang dilakukan dengan metode geodemografi (Foto : SemeruPos) |
SEMERUPOS.COM , MADIUN – Menjelang pergantian tahun menuju 2026, publik Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah isu nasional yang sempat menyita perhatian luas sepanjang 2025.
Salah satu yang paling kontroversial adalah tudingan ijazah palsu terhadap Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), yang terus bergulir meski telah berkali-kali dibantah secara resmi.
Isu tersebut memantik reaksi beragam dari masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan mengapa tudingan itu terus diangkat, padahal klarifikasi telah disampaikan oleh berbagai institusi negara. Untuk memotret sikap publik secara langsung, tim investigasi media NEWSTUJUH.COM bersama Semeru Pos melakukan survei geodemografi dengan metode wawancara dari pintu ke pintu di sejumlah komunitas warga.
Survei dilakukan di dua kecamatan yang mewakili wilayah kota dan kabupaten di Madiun, dengan melibatkan 300 responden. Hasilnya menunjukkan angka yang sangat tegas: 97,6 persen responden menyatakan tidak mempercayai isu ijazah palsu Jokowi, dengan margin of error sebesar 2,7 persen.
Temuan ini sejalan dengan hasil survei nasional yang sebelumnya dirilis LSI Denny JA pada pertengahan 2025, yang menyebutkan 74,6 persen publik Indonesia menolak mempercayai tudingan ijazah palsu tersebut, meski isu terus digoreng di ruang politik dan media sosial.
Padahal, Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai institusi penerbit ijazah telah berulang kali menegaskan keaslian dokumen Jokowi. Bahkan, hasil uji forensik Polri turut memperkuat pernyataan tersebut.
Meski demikian, sejumlah pihak seperti Roy Suryo dan rekan-rekannya tetap melanjutkan tuduhan hingga berujung pada proses hukum.
Kasus ini kini berkembang ke ranah pidana dan perdata. Beberapa nama penuduh telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan fitnah dan pencemaran nama baik.
Sidang perdata terkait isu ijazah Jokowi juga telah digelar di Pengadilan Negeri Surakarta pada April 2025, disusul gelar perkara khusus di Polda Metro Jaya pada Desember 2025.
Salah satu warga Kecamatan Taman, Kota Madiun, Rahmad, menilai isu tersebut hanya menguras energi publik tanpa manfaat nyata.
“Isu ijazah palsu ini menurut saya cuma buang-buang tenaga. UGM sudah bicara jelas, tapi masih saja dipelintir,” ujarnya.
Rahmad juga mengaku heran dengan sikap Roy Suryo yang tetap bersikukuh, meskipun berasal dari almamater yang sama.
“UGM itu kampus besar dan kredibel. Aneh kalau pernyataannya justru tidak dipercaya,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Nani, warga Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. Ia mengaku sudah tidak lagi mengikuti pemberitaan terkait isu tersebut karena dinilai berulang dan melelahkan.
“Jujur saja, saya sudah bosan. Katanya mengatasnamakan rakyat, tapi saya rakyat juga dan tidak percaya ijazah Pak Jokowi palsu,” kata Nani.
Menurutnya, pernyataan resmi dari UGM, KPU, Bareskrim Polri, hingga pengadilan seharusnya menjadi rujukan utama publik.
“Kalau semua lembaga negara sudah menyatakan asli, lalu siapa lagi yang mau dipercaya?” tambahnya.
Nani menegaskan bahwa di lingkungannya, isu ijazah Jokowi nyaris tidak lagi menjadi bahan pembicaraan.
“Kalau palsu, mana mungkin bisa jadi wali kota, gubernur, sampai presiden dua periode,” pungkas Nani.
Hasil survei di Madiun ini menjadi cermin bahwa kepercayaan publik terhadap klarifikasi resmi negara masih sangat kuat. Di tengah derasnya arus disinformasi, masyarakat semakin selektif dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang tidak didukung bukti hukum.
Menutup tahun 2025, temuan ini sekaligus menegaskan bahwa polemik ijazah Jokowi kian kehilangan relevansi di mata publik.
Temuan lapangan ini juga memperlihatkan adanya kejenuhan publik terhadap narasi konflik yang terus diulang tanpa perkembangan substansial.
Sebagian besar responden menilai isu ijazah palsu Jokowi lebih banyak diproduksi di ruang digital dan tidak lagi merepresentasikan kegelisahan nyata masyarakat. Fokus warga, menurut hasil survei, justru telah bergeser pada persoalan ekonomi, harga kebutuhan pokok, serta stabilitas sosial menjelang pergantian tahun.
Y Eko Setiawan, seorang pengamat komunikasi politik yang dimintai pendapat oleh tim investigasi menyebutkan bahwa isu ijazah palsu cenderung mengalami “kehilangan resonansi publik” karena telah berulang kali diuji secara hukum dan akademik.
Ketika klarifikasi institusional tidak lagi mampu memuaskan kelompok tertentu, narasi tuduhan berpotensi berubah menjadi konflik hukum semata dan bukan lagi isu kepentingan publik luas.
Zack
