BREAKING NEWS

Refleksi 2025 Antara Kepercayaan dan Kritik : 83,7 Persen Publik Percaya Polri


Diagram survei kepercayaan masyarakat terhadap Polri (Foto : SemeruPos)

Refleksi 2025 tentang citra Polri di mata publik. Survei NewsTujuh–Semeru Pos ungkap 83,7 % persen masyarakat masih percaya Polisi di tengah kritik, demo Agustus 2025, dan kasus oknum.

SEMERUPOS.COM , MADIUN – Memasuki awal Tahun 2026, citra Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di mata publik masih menjadi perbincangan serius. Di satu sisi, polisi tetap memegang peran strategis sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat. Namun di sisi lain, sejumlah peristiwa sepanjang 2025 turut mempengaruhi persepsi publik, mulai dari aksi demonstrasi Agustus 2025, dugaan penyalahgunaan kewenangan, hingga isu pengeroyokan yang menyebabkan tewasnya 2 oknum Debt Collector di Jakarta.

Puncaknya, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan pembentukan Tim Reformasi Polri sebagai respons atas menurunnya kepercayaan masyarakat dan tuntutan perbaikan institusional secara menyeluruh.

Kepercayaan publik menjadi indikator penting dalam menilai kinerja kepolisian. Berangkat dari hal tersebut, Tim Investigasi Media NewsTujuh dan Semeru Pos menggelar survei selama Lima hari di wilayah Madiun dan sekitarnya hingga Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan tajuk “Masihkah Percaya kepada Polisi?”. Survei ini bertujuan memotret persepsi masyarakat terhadap Polri sepanjang tahun 2025.

Hasil Survei: Mayoritas Publik Masih Percaya Polri

Hasil survei menunjukkan bahwa 83,7% persen responden menyatakan masih percaya kepada institusi Polri. Sementara itu 10,13 % persen responden mengaku ragu dan tidak yakin serta enggan berurusan dengan Polisi, kemudian 6,9 % persen lainnya menyatakan tidak percaya.

Ari, warga asal Pemalang, Jawa Tengah, yang kini berdomisili di Mojorejo Madiun, menilai kepercayaan terhadap Polisi masih penting dijaga.

“Kalau masyarakat tidak percaya kepada Polisi, lalu kepada siapa lagi kita berharap? Menurut saya Polisi sekarang sudah jauh lebih baik. Banyak perubahan, sering turun langsung membantu masyarakat, bahkan ada yang rela berjualan beras murah untuk subsidi warga,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa pelayanan kepolisian saat ini dinilai lebih responsif dan efisien dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Senada, Anggi Areza warga Perum Kurnia Indah 2 Gumpang , Kartasura Sukoharjo Jawa Tengah, tetap memberikan pandangan positif meski institusi Polri kerap disorot secara negatif.

“Kalau ada masyarakat yang membenci Polisi, menurut saya justru mereka yang bermasalah. Saya bukan dari keluarga polisi, hanya warga biasa. Kalau kita tidak punya masalah hukum, untuk apa takut dengan Polisi,” tegasnya.

Menurut Anggi, banyak tindakan kepolisian yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu kepentingan masyarakat luas.

Demo Agustus 2025 dan Sorotan Publik

Peristiwa demonstrasi pada akhir Agustus 2025 menjadi salah satu momen krusial yang membentuk opini publik. Insiden tersebut menewaskan seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis Brimob. Kejadian ini memicu reaksi keras masyarakat dan berujung pada pemeriksaan Tujuh personel Brimob oleh Divisi Propam Polri serta permohonan maaf terbuka dari Kapolri.

Sebagian masyarakat mengecam tindakan aparat yang dinilai tidak manusiawi. Namun di sisi lain, ada pula pandangan bahwa situasi di lapangan saat itu sangat berbahaya dan sulit dikendalikan.

Hal tersebut disampaikan oleh Sutomo, tokoh masyarakat Desa Sangen, Kebonsari, Kabupaten Madiun.

“Kalau melihat video yang beredar di media sosial, situasi malam itu sangat mencekam. Massa membawa bom molotov. Jika Polisi tidak menghindar, justru mereka bisa menjadi korban. Kita tidak tahu kalau bom molotov itu dimasukkan ke kendaraan taktis,lalu apa yang akan terjadi. Bisa jadi anggota panik dan berusaha menyelamatkan diri,” jelas Sutomo.

Kasus Pengeroyokan Debt Collector oleh Oknum Polisi

Selain itu, kasus pengeroyokan dua debt collector hingga meninggal dunia oleh Enam oknum anggota Polri di Kalibata, Jakarta Selatan, juga menjadi perhatian publik nasional.

Sutomo menilai kasus tersebut sebagai contoh efek brutalisasi, yakni kondisi ketika pelanggaran hukum berkembang menjadi kekerasan lanjutan dengan skala yang lebih luas.

“Dengan tingkat brutalitas yang terus meningkat, penanganannya tidak bisa parsial. Harus melibatkan pendekatan multi sektor dan multi disiplin. Jangan hanya berhenti pada sanksi PTDH terhadap oknum Polisi, tetapi semua pihak yang terlibat juga harus dimintai pertanggungjawaban,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti dampak lanjutan dari peristiwa tersebut.

“Faktanya, kasus ini juga berujung pada pengrusakan dan pembakaran yang menyebabkan kerugian warga hingga sekitar Rp1,2 miliar,” tambah Sutomo.

 Harapan untuk Reformasi Polri

Menutup pernyataannya, Sutomo berharap momentum refleksi akhir 2025 benar-benar dijadikan titik balik bagi Polri.

“Polisi tetap dibutuhkan negara dan masyarakat. Tapi ke depan, pembenahan harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Ketegasan hukum harus diiringi dengan kemanusiaan, transparansi, dan pengawasan yang kuat agar kepercayaan publik tidak terus terkikis,” pungkasnya.

Zack

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar